Tag Archives: Pilbup

Kisah Monyet – Ikan dan Perencanaan Pembangunan

(Illustrasi: didihaiyu.blogspot.com)

(Foto illustrasi: didihaiyu.blogspot.com)

Kisah monyet dan ikan adalah kisah yang banyak digunakan dalam pendidikan dan pelatihan tentang perencanaan pembangunan, terutama ketika berbicara tentang program yang berhubungan langsung dengan kehidupan masyarakat.

Kisah ini bercerita tentang persahabatan seekor monyet yang hidup di atas pohon yang tumbuh di pinggir sungai dengan seekor ikan yang hidup di dalamnya. Pertemanan di antara mereka sudah sangat erat, sehingga mereka banyak berbagi. Monyet terkadang memetik buah dari atas pohon dan dijatuhkan ke dalam sungai agar bisa dinikmati temannya, dan ikan yang sesekali mencari kerang untuk diberikan ke monyet sebagai santapan.

Pada suatu hari, terlihat mendung di muara. Sang monyet khawatir. Awan hitam tentu akan menurunkan hujan deras, sehingga apabila terjadi banjir, bisa saja menghanyutkan dan membunuh temannya sang ikan. Sambil berlompatan dan berlarian di sisi sungai, ia memanggil-manggil temannya itu. Kecemasannya terus bertambah, dan temannya belum juga terlihat. Mendung semakin tebal.

Dalam ketegangannya, mendadak ikan muncul mendekati tepi untuk menyapa sahabatnya sebagaimana biasa. Monyet yang panik dan tegang tanpa pikir panjang langsung menyambar temannya itu dan membawanya ke atas pohon.

Hujan lebat yang turun membuat sang monyet memeluk temannya itu dengan penuh kasih sayang.

Ketika hujan reda, sang monyet tersenyum lega. Iapun membuka pelukannya dan ternyata sang ikan telah mati.

Dalam kisah sederhana ini, selalu dimunculkan pertanyaan, siapa yang salah di antara keduanya. Apakah monyet yang dengan penuh keikhlasan ingin menolong temannya, atau ikan yang tidak berteriak lantang bahwa ia tidak membutuhkan bantuan temannya itu?

Semua bisa memberi jawaban. Tapi semua itu tidaklah penting. Yang terpenting, kisah ini memberi kita pemahaman bahwa program pembangunan yang dengan niat baik sekalipun, terkadang justru tidak dibutuhkan masyarakat.

(selayarbaru@yahoo.com)

Tagged , , , , , ,

Membangun Selayar dan Addiksi Celengan

Celengan Yang Membuat Sakaw

Zat Addiktif Yang Membuat Sakaw

“Membangun Selayar”, kata yang begitu mudah diucapkan, sehingga begitu sering didengar, terutama saat ini. Kata-kata ini menjadi sangat besar, karena ada kata Selayar. Dalam kata ini, tidak saja tercakup tanah dan orang, tapi juga sejarah, budaya dan kearifan. Menjelang suksesi kepemimpinan daerah, beberapa yang berminat untuk Selayar 1 mulai memperkenalkan diri, baik terang-terangan maupun sekedar melempar wacana, siapa tahu ada yang mendukung dan syukur-syukur bila ada yang melamar untuk diajak berpasangan.

Kata “Membangun Selayar” juga menjadi sangat besar, karena membangun adalah sebuah kerja panjang dengan strategi dan tahapan yang jelas, memang mampu dilakukan (attainable) dan terukur – untuk membedakannya dengan hayalan, sehingga kata ini tidak sekedar berarti mengeluarkan dan membelanjakan isi celengan bernama APBD.

Ukuran “kinerja” yang hanya berpatokan pada realisasi anggaran dengan kelengkapan pertanggungjawaban membuat kita hanya berputar di sekitar celengan, eh, APBD itu tadi. Kinerja, belumlah kita ukur sejauh mana anggaran itu memberi dampak pada peningkatan kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Akibatnya, capaian target yang bertumpu pada realisasi tanpa dikejar dampak – sehingga tidak perlu dikejar beban psikologis, memunculkan “kenikmatan” dan selanjutnya menciptakan ketergantungan, yang pada akhirnya membuat kita ketagihan.

Tapi Selayar bukankah sebuah celengan yang hanya dengan sedikit upaya, isinya dapat dikeluarkan.

Seorang anak – yang sudah tahu isi celengan, akan menggunakan lidi yang ujungnya diberi lem untuk mengeluarkan uang kertas , atau membaliknya secara perlahan sehingga isinya yang coin bisa keluar melalui lubang kecil di punggung celengan.

Selalu ada godaan, bagi mereka yang tahu isi celengan, dan cara mengeluarkannya. Sehingga seseorang bisa begitu mudah dan ringan mengajak mengeluarkan isi celengan, eh, mengeluarkan kata membangun Selayar.

Akan sangat menggelikan, bila seseorang mengajak membangun Selayar karena tahu isi celengan – terlebih isi celengan bukan dari keringatnya, dan mengabaikan untuk siapa saja isi celengan itu. Tak juga penting bagaimana mengisinya.

Orang-orang yang mengajak membangun Selayar – dengan menggunakan kata membangun, bisa jadi sangat pintar dengan digunakannya logika Fuzzy, atau justru  seseorang yang memiliki kapasitas intelektual bodong tapi sangat percaya diri karena menganggap masyarakat penerima informasi sebagai masyarakat bodoh, yang diyakini akan langsung percaya dan mendukung.

Zaman kampanye bombastis yang mengelegar seharusnya sudah ditinggalkan. Kita, atau siapapaun – dengan niat baik dan tulus untuk “membangun”, seharusnya mengusung tema-tema solutif bagi permasalahan masyarakat – yang selama ini jauh dari celengan, untuk dicarikan solusi melalui pemanfaatan isi celengan secara efektif dan efisien.

Untuk itu, kata-kata besar seperti ini tidak lebih dari sebuah olok-olok – untuk penuturnya tentunya, lebih-lebih jika penuturnya sendiri tidak mampu membangun dirinya, dan selama ini justru hidup dan “besar” dari celengan.

(selayarbaru@yahoo.com)

Tagged , , , , , ,

Dinasti Kekuasaan

The Jacket and The Hat

The Jacket and The Hat

Ruang publik gegap gempita dengan isu Dinasti Kekuasaan. Sang istri, sang anak, dan menantu, ingin mengail di air kekuasaan sang ayah atau mertua.

Tidak aneh. Di hampir seluruh wilayah nusantara, fenomena ini muncul. Ketika salah seorang anggota keluarga mencapai puncak, keluarga terdepanpun ingin duduk di puncak yang sama, atau minimal satu atau dua anak tangga di bawahnya, dan dengan harapan pada satu waktu melompat ke puncak tangga tersebut.

Komentar ini – yang tentu saja miring, tanpa disadari, telah membuat para pembaca media sosial jenuh – kalau tidak jengah, terhadap segala komentar itu. Bukan pada pribadi penulisnya, tapi pada sikap “apatis” para penulis itu. Mungkin mereka menulis karena jengkel, tapi harus diakui, tidak banyak yang memiliki referensi. Marah, tapi mentok pada komentar-komentar itu saja. Letupan “perlawanan” sudah cenderung menjadi kerewelan.

Komentar di facebook, twitter dan blog menegaskan hal itu. Apa hebatnya? Selain menjadi ajang narsisme dan ajang informasi yang lebih sering tidak utuh, juga menegaskan tentang ujung “perlawanan” itu. Cukup sampai di situ. Hanya sampai di situ.

(Bersambung)

Tagged , , , ,

Pembangunan Berbiaya Tinggi

Pestisida Pembangunan

Pestisida Pembangunan

Besarnya anggaran yang dikucurkan tidak selamanya berbanding lurus dengan hasil yang didapatkan. Apalagi ketika sebuah program yang memang tidak bertumpu di atas efisiensi dan efektifitas.

Seperti membagikan tusuk gigi dengan menggunakan helikpter. Mahal, tapi tidak jelas untuk apa. Masyarakat kebanyakan yang berlauk telur dan ikan – dengan sesekali makan daging di rumah tetangga yang melaksanakan pesta, tusuk gigi bukan sesuatu yang mesti ada, dan untuk itu tidak terlalu dibutuhkan. Mereka bisa menggunakan lidi, atau patahan pagar tetangga ketika berjalan pulang, atau kuku, sebuah alat bantu serbaguna yang sekaligus bisa digunakan membersihkan hidung, telinga atau kotoran sesama kuku.

Tagged , , , , ,